JAKARTA, KOMPAS.com — Puncak aksi unjuk rasa
penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan berlangsung
besok, Selasa (27/3/2012). Kepolisian Daerah Metro Jaya mencatat akan
ada 8.000 orang demonstran yang tersebar di sejumlah titik seperti di
depan gedung DPR/MPR dan di depan Monumen Nasional (Monas).
"Kegiatan
unjuk rasa sejumlah elemen masyarakat yang terdiri dari mahasiswa,
lembaga swadaya masyarakat, dan buruh paling besar akan dilakukan besok.
Estimasi massa mencapai 8.000 orang," ungkap Kepala Bidang Humas Polda
Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, Senin (25/3/2012), di Mapolda Metro
Jaya.
Ia menjelaskan, aksi unjuk rasa nantinya akan dilakukan
mulai pukul 09.00 hingga sore hari. Mereka akan menyebar di beberapa
titik utama seperti di gedung DPR/MPR, Monas, dan Bundaran Hotel
Indonesia (HI).
"Mereka sudah koordinasi ke kepolisian. Nanti akan kami kawal dan fasilitasi semoga semua berjalan lancar," tutur Rikwanto.
Berikut data aksi unjuk rasa yang akan dilakukan esok hari yang dihimpun Polda Metro Jaya:
1. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di depan Istana Negara. Jumlah massa mencapai 3.000 orang.
2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Jumlah massa diperkirakan 1.000 orang.
3.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di depan gedung
DPR/MPR dan Bundaran Hotel Indonesia. Estimasi massa 3.000 orang.
4. Konsolidasi Nasional Mahasiswa Indonesia (Konami) sebanyak 300 orang demonstran di depan Istana Negara.
5. Komunikasi Mahasiswa Indonesia Timur (Komit) di depan Istana Negara. Perkiraan massa mencapai 300 orang.
6. Sekitar 100 orang juga akan berunjuk rasa di Kementerian BUMN.
"Sisanya
ada yang tersebar di Balaikota, DPRD DKI Jakarta, dan KPUD terkait demo
pilkada. Sedangkan kenaikan BBM lain juga ada di
kementerian-kementerian namun jumlahnya tidak terlalu banyak," kata
Rikwanto.
Untuk mengamankan aksi unjuk rasa besar-besaran ini,
aparat kepolisian akan mengerahkan lebih dari setengah pasukannya yakni
mencapai 22.458 personel. Dari jumlah itu, sebanyak 8.254 personel
berasal dari TNI. Kendaraan taktis seperti water canon dan barakuda juga disiagakan untuk mengantisipasi kerusuhan yang mungkin terjadi esok hari.
Aparat
kepolisian dan TNI yang disiagakan, kata Rikwanto, tidak memegang
senjata api apa pun. Mereka hanya dibekali tameng dan pentungan untuk
menghalau massa. Gas air mata juga disiapkan jika sewaktu-waktu
kerusuhan memuncak. Jika terjadi kerusuhan atau massa meluber dan
menutupi jalan, akan dilakukan pengalihan arus lalu lintas. Penutupan
jalan atau pengalihan arus lalu lintas bersifat situasional melihat
kepadatan yang terjadi di lapangan.
"Kami berharap semua korlap
bisa menjaga massanya agar tidak mudah disusupi provokator yang hanya
ingin membuat kerusuhan. Kami sudah koordinasi dengan mereka dari
kemarin, semoga tidak ada kericuhan yang terjadi," pungkas Rikwanto.
sumber :: Kompas.com
Monday, March 26, 2012
Cerita Annie Wan
Caller : Hello, can I speak to Annie Wan (anyone) ?
Operator : Yes, you can speak to me.
Caller : No, I want to speak to Annie Wan (anyone)!
Operator : You are talking to someone! Who is this?
Caller : I'm Sam Wan (Someone). And I need to talk to Annie Wan (anyone)! It's urgent.
Operator : I know you are someone and you want to talk to anyone! But what's this urgent matter about?
Caller : Well... just tell my sister Annie Wan (anyone) that our brother Noe Wan (no one) was involved in an accident. Noe Wan (no one) got injured and now Noe Wan (no one) is being sent to the hospital. Right now, Avery Wan (everyone) is on his way to the hospital.
Operator : Look if no one was injured and no one was sent to the hospital, then the accident isn't an urgent matter! You may find this hilarious but I don't have time for this, you moron!
Caller : You are so rude! Who are you?
Operator : I'm Saw Lee (Sorry).
Caller : Yes! You should be sorry. Now give me your name!!
Operator : Yes, you can speak to me.
Caller : No, I want to speak to Annie Wan (anyone)!
Operator : You are talking to someone! Who is this?
Caller : I'm Sam Wan (Someone). And I need to talk to Annie Wan (anyone)! It's urgent.
Operator : I know you are someone and you want to talk to anyone! But what's this urgent matter about?
Caller : Well... just tell my sister Annie Wan (anyone) that our brother Noe Wan (no one) was involved in an accident. Noe Wan (no one) got injured and now Noe Wan (no one) is being sent to the hospital. Right now, Avery Wan (everyone) is on his way to the hospital.
Operator : Look if no one was injured and no one was sent to the hospital, then the accident isn't an urgent matter! You may find this hilarious but I don't have time for this, you moron!
Caller : You are so rude! Who are you?
Operator : I'm Saw Lee (Sorry).
Caller : Yes! You should be sorry. Now give me your name!!
Monday, March 19, 2012
Antara Wortel, Telur, dan Kopi
Antara Wortel, Telur, dan Kopi
Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
Source : http://sh4r3d.blogspot.com/
Monday, March 5, 2012
Kado Untuk Samuel
“Aku menemukan sisi lain dari
keindahan dunia ini saat mengenalmu dan ketika aku kehilangan dirimu,
engkau menjadi inspirasi bagiku.”
Dewa Klasik Alexander
Aku
meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika aku
masih menikmatinya ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang
memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang menusuk ke
dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku meletakkan gelas yang hanya
menyisakan es batu yang masih membeku.
“Bang,
anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku
penasaran kepada pemilik warung sambil memandang anak laki-laki
tersebut.
“Ow… Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan kenapa, bu?”
“Sudah
seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas
melahirkan dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur di
mana saja karena di usir dari kontrakan.”
“Begitu ya, bu!”
Selesai
membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak laki-laki
yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah sudah berapa
lama dia tidak mengganti pakaiannya.
Semakin
aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak
terurus. Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.
“Nama kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.
“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.
“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya. Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku
melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang
tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara, panggil saja kak Tara!”
Dia
mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan
yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku
bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang
menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.
“Yuk, kita makan.”
“Di mana kak?”
“Tuh ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku
hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali anak
ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak
tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya segala.
“Terima kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,” balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.
*****
Aku
manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan
tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih
terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku
menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan lilin
kecil. Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan. Tanpa
listrik dan tanpa kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC umum.
Itu pun harus bayar. Suara kereta api yang lewat persis di depan kosku
sudah menjadi musik tersendiri bagiku. Kata orang ada harga, ada mutu.
Seperti itulah gambaran kos di pinggiran rel kereta api.
“Dulu aku punya koko.”
“Trus koko kamu di mana sekarang?”
Hening. Sunyi. Bisu.
“Koko… Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali kesunyian mencekam.
“Ngga apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah kalau begitu.”
Aku tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena
lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup
mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.
*****
“Koko
pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke tempatku
bekerja. “Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”
“Kenapa ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya. Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu lapar?”
“Lapar setengah mati.”
“Tapi uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel hanya menatapku.
“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya ko.”
Aku
berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali, mata
Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
“Untuk kamu saja ya!”
“Ngga mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan berat hati aku memakannya juga.
Setelah
itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko,
lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajinya
sih cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya
transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik hati
mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan online. Aku menjual
tas yang ada di toko Ko Willy di blogku yang kuberi kamarsolusi.com.
Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang
kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.
“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.
Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.
*****
“Kamu sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin ko!”
Aku tersenyum meski hatiku perih.
“Yah iyalah masa manis.”
*****
“Badanmu panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit ya?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh
Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha
menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh
tubuhnya.
“Kita ke dokter ya?”
usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang
yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau berobat harus pinjam
sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh kerja keras lagi buat
bayar hutang.
Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.
Aku
menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Entah
kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu mengenalnya.
Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara kami.Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
“Woi, mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main masuk!”
“Adik saya sakit, pak?”
Satpam
tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku
yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.
“Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini!”
Ya
Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil
mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku
tidak diterima?
Ketika satpam
tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung
menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan
untuk Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak
menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki.
Sandal nyang kupakai tadi putus. Mungkin sudah waktunya untuk diganti.
Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga tulang sum-sumku.
*****
Empat hari kemudian.
“Hemofilia?” tanyaku kaget.
“Penyakit
gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromosn X,” ucap
dokter muda yang cantik perawakannya memberiku penjelasan.
Aku menggagumi kecantikannya.
“Tapi
selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti pendarahan yang
terus menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang mengakibatkan
kebiru-biruan. Kalau boleh tahu, Samuel mengidap hemofilia A atau
Hemofilia B, dok?”
“Begitu ya? Hemofilia B.”
Aku terdiam.
“Tidak hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku
berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap
HIV? Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah
menjalani transfusi darah dan ternyata Human Immunodeficiency Virus
lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.
Kini
aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya
yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga.
Entahlah.
Aku menatap wajah pucat
Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang terpasang ditubuhnya.
Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang keluar
dari mulutnya.
Masih jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami
berdua ketika mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan
Jakarta Barat.
“Samuel pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau kado apa?”
“Cuma pengen boneka Tazmania.”
“Nanti
koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa harri ini belum ada
tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi jangan lupa berdoa ya.”
“So, pasti!”
Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
“Amin!” teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.
“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit berikutnya.
Dia mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.” timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K dibelakangnya.
“Nama blognya apa ko?”
“Kamarsolusi dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati kamarsolusi dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko, aku mau pulang saja!”
“Kenapa sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam. Sesak.
“Kamu jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak
ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan gajiku
di potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.
Sebatang
kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada keluarga. Ah,
betapa indahnya kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta. Uang
ngga jatuh dari pohon kayak daun kering. Siapa yang mau memberikan
pinjaman kepadaku tanpa jaminan apa-apa yang bisa disita kalau tidak
mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan pinjaman ke keluarga sendiri
saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang harus di ekspos.
Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko…. Maafkan aku.”
“Kenapa harus minta maaf?”
“Aku sudah merepotkan koko.”
Aku menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah senang bisa berkorban buat kamu.”
******
Segala
macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel. Sudah
dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti dimasukkan ke
dalam tubuhnya.
Setiap hari
berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol,
bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.
“Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan
yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah
memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang
tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku
tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki
pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti
di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil meneteskan
air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti
kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko
sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah
dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi
jalan kaki.”
Mulutku tertutup
rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di
tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh
kesah karena sakit yang di deranya.
******
Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa sayang?”
“Besok aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga apa-apa.”
“Kamu suka ngga bonekanya?”
“Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko, aku mau… kasih koko… kado.”
Aku tercengang!
“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku yakin saat Kau berfirman
Ku menang saat Kau bertindak
Hidupku hanya ditentukan oleh perkataanMuKu aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Bagi Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya mujizat itu ada.
“Selamat natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya, sayang!”
“Koko bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”
Tanpa berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.
Silent night, holy night
All is calm and all is brightRound yon virgin mother and child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace
Silent night, holy night
Shepherds quake at the sightGlories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing halleluia
Christ the savior is born
Christ our savior is born
Silent night, holy night
Son of God
Love’s pure light
Radiant beams from thy holy faceWith the dawn of redeeming grace
Jesus Lord at thy birth
Jesus Lord at thy birth
Halleluia!
Halleluia!Halleluia!
Christ the savior is born
Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.
Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.“Surga menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
*****
TAMAT
( NANTIKAN NOVELnya yang akan segera diterbitkan. AMIN)
Cerpen ini saya
dedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS), percayalah kalian adalah
makluk tuhan yang paling bahagia dan berharga di mata Tuhan dengan
keadaan apapun.
“Jauhi virusnya bukan orangnya.”
Thank to : Dewa Klasik Alexander , muda.kompasiana.com
Yu Yuan
Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki
sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah
seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama
delapan tahun. Satu kata terakhir yang ia tinggalkan adalah 'saya
pernah datang dan saya sangat penurut'.Anak ini rela melepaskan
pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan
sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese
seluruh dunia. Dia membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian,
yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang
menghadapi kematian, dan dia rela melepaskan pengobatannya.Begitu
lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia
hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya.
Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She
Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu.
Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan
hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin
tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya.
Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat
dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan
rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang
kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat
selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12. Melihat anak
kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah,
papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka
kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya
memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, "Saya
makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan". Kemudian
papanya memberikan dia nama Yu Yuan.
Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang
membesarkan seorang anak, tidak ada ASI dan juga tidak mampu
membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan
air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi
lemah dan sakit- sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan
sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan
bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para
tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar walaupun dari kecil
sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan.
Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan
tumbuh dewasa. Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar
biasa.
Mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan
pekerjaan rumah, mencuci baju, memasak nasi, dan memotong rumput.
Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan
anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua,
sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya
mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi
seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi
sedih dan marah. Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri
sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di
sekolah.
Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi
bangga di desanya.
Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk
papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya
diceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan
mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya. Setiap
kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia.
Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi
bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.
Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada
suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa
air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal
dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan
pendarahan tersebut sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas
desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga
mengeluarkan darah dan tidak mau berhenti. Di pahanya mulai
bermunculan bintik- bintik merah. Dokter tersebut menyarankan
papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa.
Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena
antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri di kursi
yang panjang untuk menutupi hidungnya.
Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir
dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian
mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar
dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil
tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.
Dokter yang melihat keadaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk
diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan
terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal
yang memerlukan biaya sebesar $ 300.000. Papanya mulai cemas
melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya
memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai
cara meminjam uang ke sanak saudara dan teman dan ternyata, uang
yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil
keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu
satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang
singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli. Melihat mata papanya
yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus, dalam hati Yu Yuan
merasa sedih.
Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun
mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa, saya
ingin mati". Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan,
"Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati?". "Saya adalah anak
yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga,
tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah
sakit ini."
Pada tanggal 18 Juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal
huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak
yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah
pulang ke rumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki
permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia
ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada
papanya, "Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya
lihatlah foto ini".
Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota
dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang
dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan
corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dia tidak rela
melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto.
Yu Yuan kemudian memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin
berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada
akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar.
Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di
surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun
yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin. Setelah mengetahui
keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan
sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita
tentang anak yang berumur 8 tahun mengatur pemakamannya sendiri
dan akhirnya menyebar ke seluruh kota Rong Cheng.
Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang
sakit ini, dari ibu kota sampai satu negara bahkan sampai ke
seluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk
menggalang dana bagi anak ini. Dunia yang damai ini menjadi suara
panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang. Hanya dalam waktu
sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese di dunia saja telah
mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi.
Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih
semua orang. Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan
tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah
tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu
demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua
orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan. Ada seorang teman di email
bahkan menulis, "Yu Yuan, anakku yang tercinta. Saya mengharapkan
kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat
kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan
sehat.
Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan
menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang
sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan
alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima
pengobatan dan dia sangat menderita di dalam sebuah pintu kaca
tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk
diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum
padanya.
Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan
proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat.
Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan
tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan
pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari
depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak
berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu Yuan dari lahir
sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang
ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi
anak perermpuannya, air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.
Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu
memanggil dengan sebutan Shii Mama.
Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian
dengan tersenyum dan menjawab, "Anak yang baik". Semua orang
mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan
hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk
Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email.
Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang
menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan di
pencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah
putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang
pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.
Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi
sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak
leukemia yang lain fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah
melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah. Pada
tanggal 20 Agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan,
"Tante, kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya?". Wartawan
tersebut menjawab, "Karena mereka semua adalah orang yang baik
hati". Yu Yuan kemudian berkata, "Tante, saya juga mau menjadi
orang yang baik hati".
Wartawan itu pun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang
baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin
baik".
Yu Yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan
diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya."
Fu Yuan kaget sekali, membuka dan melihat surat tersebut. Ternyata
Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri.
Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang
menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman
surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan,
tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.
Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih
ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam
belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Dia
juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada
orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat
kabar. "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong
jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa
dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin
palang merah.
Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada
orang- orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh".
Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang
membasahi pipinya. "Saya pernah datang, saya sangat patuh",
demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 Agustus, karena pendarahan di pencernaan hampir satu bulan, Yu
Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk
bertahan hidup. Mula-mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan
mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan
di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun
secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan
transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat
hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang
ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa
membantunya.
Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya
meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan
ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air
sungguh telah pergi ke dunia lain. Di kecamatan She Chuan, sebuah
email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak
yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga
yang ditumpuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan
pelan "Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas
langit, kepakkanlah kedua sayapmu. Terbanglah....." demikian
kata-kata dari seorang pemuda tersebut.
Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan
gerimis. Di depan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan
menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu
Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan
yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi
orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang
diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan. Di depan kuburannya
terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu
nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30
November 1996 - 22 Agustus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan
singkat riwayat hidup Yu Yuan.
Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima
kehangatan dari dunia. Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana
540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita
leukimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan
itu adalah :
Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian,
Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari
keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang
melawan kematian. Pada tanggal 24 September, anak pertama yang
menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil
melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut
wajah anak tersebut. "Saya telah menerima bantuan dari kehidupan
Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami
diatas sana.
Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya
dengan kata-kata 'Aku pernah datang dan aku sangat patuh'".
Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati. Seorang anak
kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi
kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan
ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan
respon yang luar biasa dari kalangan dunia. Walaupun hidup serba
kekurangan, dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah
contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama,
berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit
kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi
dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang pengasih.
Subscribe to:
Posts (Atom)